Pidato Steve Job di Acara Wisuda Stanford University ( I )

19.8.10


Saya merasa bangga di tengah-tengah Anda sekarang, yang akan segera lulus
dari salah satu universitas terbaik di dunia. Saya tidak pernah selesai
kuliah.
Sejujurnya, baru saat inilah saya merasakan suasana wisuda. Hari ini saya
akan menyampaikan tiga cerita pengalaman hidup saya. Ya, tidak perlu banyak.
Cukup tiga.

Cerita Pertama: Menghubungkan Titik-Titik

Saya drop out (DO) dari Reed College setelah semester pertama, namun saya
tetap berkutat di situ sampai 18 bulan kemudian, sebelum betul-betul putus
kuliah.
Mengapa saya DO? Kisahnya dimulai sebelum saya lahir.
Ibu kandung saya adalah mahasiswi belia yang hamil karena "kecelakaan" dan
memberikan saya kepada seseorang untuk diadopsi.

Dia bertekad bahwa saya harus diadopsi oleh keluarga sarjana, maka saya pun
diperjanjikan untuk dipungut anak semenjak lahir oleh seorang pengacara dan
istrinya.
Sialnya, begitu saya lahir, tiba-tiba mereka berubah pikiran ingin bayi
perempuan.

Maka orang tua saya sekarang, yang ada di daftar urut berikutnya,
mendapatkan telepon larut malam dari seseorang: "kami punya bayi laki-laki
yang batal dipungut; apakah Anda berminat?
Mereka menjawab: "Tentu saja."
Ibu kandung saya lalu mengetahui bahwa ibu angkat saya tidak pernah lulus
kuliah dan ayah angkat saya bahkan tidak tamat SMA.

Dia menolak menandatangani perjanjian adopsi. Sikapnya baru melunak beberapa
bulan kemudian, setelah orang tua saya berjanji akan menyekolahkan saya
sampai perguruan tinggi. Dan, 17 tahun kemudian saya betul-betul kuliah.

Namun, dengan naifnya saya memilih universitas yang hampir sama mahalnya
dengan Stanford, sehingga seluruh tabungan orang tua saya- yang hanya
pegawai rendahan-habis untuk biaya kuliah. Setelah enam bulan, saya tidak
melihat manfaatnya.
Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dalam hidup saya dan bagaimana
kuliah akan membantu saya menemukannya.

Saya sudah menghabiskan seluruh tabungan yang dikumpulkan orang tua saya
seumur hidup mereka.
Maka, saya pun memutuskan berhenti kuliah, yakin bahwa itu yang terbaik.
Saat itu rasanya menakutkan, namun sekarang saya menganggapnya sebagai
keputusan terbaik yang pernah saya ambil.

Begitu DO, saya langsung berhenti mengambil kelas wajib yang tidak saya
minati dan mulai mengikuti perkuliahan yang saya sukai.
Masa-masa itu tidak selalu menyenangkan. Saya tidak punya kamar kos sehingga
nebeng tidur di lantai kamar teman-teman saya.

Saya mengembalikan botol Coca-Cola agar dapat pengembalian 5 sen untuk
membeli makanan.
Saya berjalan 7 mil melintasi kota setiap Minggu malam untuk mendapat
makanan enak di biara Hare Krishna. Saya menikmatinya.
Dan banyak yang saya temui saat itu karena mengikuti rasa ingin tahu dan
intuisi, ternyata kemudian sangat berharga.

Saya beri Anda satu contoh:

Reed College mungkin waktu itu adalah yang terbaik di AS dalam hal
kaligrafi. Di seluruh penjuru kampus, setiap poster, label, dan petunjuk
ditulis tangan dengan sangat indahnya. Karena sudah DO, saya tidak harus
mengikuti perkuliahan normal. Saya memutuskan mengikuti kelas kaligrafi guna
mempelajarinya. Saya belajar jenis-jenis huruf serif dan san serif, membuat
variasi spasi antar kombinasi kata dan kiat membuat tipografi yang hebat.
Semua itu merupakan kombinasi cita rasa keindahan, sejarah dan seni yang
tidak dapat ditangkap melalui sains. Sangat menakjubkan.

Saat itu sama sekali tidak terlihat manfaat kaligrafi bagi kehidupan saya.
Namun sepuluh tahun kemudian, ketika kami mendisain komputer Macintosh yang
pertama, ilmu itu sangat bermanfaat. Mac adalah komputer pertama yang
bertipografi cantik.
Seandainya saya tidak DO dan mengambil kelas kaligrafi, Mac tidak akan
memiliki sedemikian banyak huruf yang beragam bentuk dan proporsinya. Dan
karena Windows menjiplak Mac, maka tidak ada PC yang seperti itu.

Andaikata saya tidak DO, saya tidak berkesempatan mengambil kelas kaligrafi,
dan PC tidak memiliki tipografi yang indah.
Tentu saja, tidak mungkin merangkai cerita seperti itu sewaktu saya masih
kuliah. Namun, sepuluh tahun kemudian segala sesuatunya menjadi gamblang.

Sekali lagi, Anda tidak akan dapat merangkai titik dengan melihat ke depan;
Anda hanya bisa melakukannya dengan merenung ke belakang.
Jadi, Anda harus percaya bahwa titik-titik Anda bagaimana pun akan terangkai
di masa mendatang. Anda harus percaya dengan intuisi, takdir, jalan hidup,
karma Anda, atau istilah apa pun lainnya. Pendekatan ini efektif dan membuat
banyak perbedaan dalam kehidupan saya.